Matematika Tidak Netral
Diposting oleh : AdministratorKategori: Iptek - Dibaca: 236 kali
[suluh.co.id] Jakarta, 07 Nopember 2023
ILMU MATEMATIKA TIDAK NETRAL
Oleh: Dr. Budi Handrianto
Tidak gampang menjelaskan kepada khalayak ramai bahwa ilmu pengetahuan itu tidak netral, di tengah hegemoni sains Barat modern yang sekuler. Ilmu pengetahuan yang sekarang banyak dipelajari di kampus dan sekolah-sekolah -jujur harus diakui, sudah dirasuki paham positivisme, empirisisme, materialisme, dualisme, utilitarianisme, relativisme dan tentunya sekuler. Dengan masuknya isme-isme tersebut di atas, ilmu pengetahuan modern tidak memberi tempat pada agama bahkan Tuhan sama sekali. Lalu karena tidak ada agama, spiritualisme, metafisika dan Tuhan di dalam ilmu pengetahuan, maka -oleh mereka ilmu pengetahuan dikatakan netral.
Yang sering dijadikan dasar oleh mereka bahwa ilmu pengetahuan itu netral biasanya matematika yang dulu sering juga disebut dengan ilmu pasti. Bukankah 1+1 di mana-mana sama dengan 2? Di Indonesia, di Inggris, di Jepang, di Toronto, di Reykjavik, di tempat lainnya sama saja. Menurut Islam, Kristen, Hindu, Khonghu Chu, dan agama lainnya juga sama. Itulah maka ilmu pengetahuan, terutama Matematika bersifat netral. Tidak ada yang salah dan tidak perlu di-Islamkan. Itu kata mereka. Bagaimana sebenarnya duduk persoalannya?
Ada dua jawaban untuk masalah di atas. Pertama masalah yang remeh-temeh, yang semua orang belajar Matematika pasti sudah tahu. Bagi orang awam, 1+1 jawabnya 2, tidak perlu disangkal. Bagi orang yang belajar ilmu -sedikit saja, dia tidak akan langsung menjawab pertanyaan mudah itu. Dia akan bertanya, “Dalam sistem bilangan apa?” Dalam bilangan cacah 1+1 memang sama dengan 2. Tapi dalam sistem bilangan biner 1+1 tidak sama dengan 2 karena sistem bilangan biner nilainya hanya 0 dan 1. Bilangan tersebut tidak bisa dijumlahkan. Lagi pula ada sistem bilangan di mana 1+1 bisa sama dengan 11. Dalam peringkasan bilangan tiga digit, misal 139 diringkas menjadi 2 digit yaitu 1+3+9=13, lalu menjadi 1 digit 1+3=4. Artinya 1+3+9 bisa sama dengan 139.
Di era Youtube dan Tiktok seperti jaman sekarang pun kita dikenalkan bilangan baru tapi familiar buat generasi milenial. Misal kalau ditanya bilangan setelah 10 berapa? Ya sudah jelas 11. Kalau ditanya setelah bilangan 240 berapa? Ya bisa 241 bisa juga 480. Setelah 720 bisa saja 721, bisa juga 1080. Angka yang disebut terakhir itu adalah angka resolusi video yang generasi milenial terutama para youtuber pasti mengenalnya.
Yang kedua, agak filosofis. Mari kita ambil contoh. Sebuah pisau yang tersimpan di dalam lemari tidak menjadi bahan perbincangan. Dia bisa ditaruh di lemari, disimpan di laci, dipajang di etalase, tidak ada yang salah dan tidak jadi urusan bagi siapapun. Pisau baru bermakna jika ia dipakai, bisa untuk mengiris mangga, merajang sayuran, memotong daging, bisa juga untuk melukai, menyiksa bahkan membunuh. Bisa juga gagangnya untuk memaku jika tidak ada palu. Pembicaraan tentang untuk apa sebuah pisau lebih penting daripada pengetahuan tentang benda pisau itu sendiri.
Dalam ilmu matematika kita belajar, salah satunya, penjumlahan bilangan. Awalnya penjumlahan itu selalu dikaitkan dengan benda. Misal, ada 10 apel ditambah 3 apel menjadi 13 apel. Lalu lama kelamaan, karena sudah biasa, apelnya tidak perlu disebut sehingga perhitungan hanya sekedar angka, yaitu 10+3=13.
Ketika matematika hanya sekedar angka dan tanda-tanda, maka ilmu matematika kemudian menjadi netral, seperti layaknya pisau yang disimpan di dalam lemari di atas. Itulah mengapa orang mengatakan ilmu itu netral dan kita sepakat di sini. Namun ketika perhitungan tersebut dikaitkan dengan benda (yang manusia mempunyai persepsi berbeda-beda terhadapnya) maka bisa jadi menjadi tidak netral.
Dalam ekonomi kapitalis, ketika menghitung value time of money dipakailah rumus bunga. Misal A punya uang 100 juta, dipinjamkan kepada B dengan kesepakatan selama 5 tahun bunga 5% per tahun. Maka pada tahun kelima, uang milik A menjadi 125 juta. Orang ekonomi pasti mengenal rumus tersebut yaitu FVn=PVo(1+i) pangkat n, dimana FVn adalah nilai uang di masa depan setelah n tahun, PVo adalah nilai uang sekarang, i adalah tingkat suku bunga (interest) dan n adalah selang waktu (tahun) yang dihitung.
Dalam Islam, tambahan pada pinjaman yang disepakati di awal termasuk riba. Harta riba itu bukan kepemilikan sehingga menurut “Matematika Islam” harta A tetap 100 juta karena yang 25 juta bukan miliknya. Artinya, A tidak berhak memiliki uang yang 25 juta itu.
Berbeda lagi misalkan (dalam kasus lain), uang A sebesar 100 juta dipinjamkan kepada B selama 5 tahun tanpa perjanjian apapun. Di tahun ke-5 B mengembalikan pinjaman ke A sebesar 100 juta. Dan sebagai rasa terima kasih ia memberikan hadiah sebesar 25 juta kepada A. Berapa uang A? Maka jawab “Matematika Islam” 125 juta karena yang 25 juta merupakan pemberian (hibah/hadiah), dan hal semacam itu termasuk perbuatan baik yang disarankan.
Secara ekstrem, contoh lain, dapat kita katakan, jika Pak Fulan mempunyai uang 100 juta rupiah lalu ia melakukan korupsi 1 milyar rupiah, uangnya yang haq tetap 100 juta, bukan 1 milyar seratus juta rupiah. Sebab, uang haram tidak patut untuk dimiliki. Yang dimiliki, dan yang akan muncul keberkahan di dalamnya adalah uang atau harta yang dia miliki secara sah. Jika tidak, maka Allah akan mengambilnya dengan paksa, dan jika tidak bertaubat maka ia berdosa.
Dari penjelasan di atas maka dapat dipahami bahwa ilmu pengetahuan tidak netral. Itu hanya contoh kecil saja dan masih banyak contoh lain bahwa ilmu pengetahuan Barat yang sekarang dipelajari dan diajarkan kepada anak-anak kita di bangku sekolah (termasuk kita jaman dulu) itu tidak netral, tapi sarat dengan nilai (value). Bukan nilai-nilai Islam, tapi nilai-nilai sekuler. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dalam peradaban Barat bukannya netral, tapi hanya netral terhadap agama (Islam) dan tidak netral terhadap paham sekuler.
Pandangan kenetralan atau ketidaknetral ilmu itu letaknya ada pada ranah filsafat ilmu, bukan pada tingkat praktis aplikatif. Secara epistemologi, ilmu dalam pandangan Barat dan Ilmu dalam pandangan Islam berbeda. Juga di ranah ontologi, apalagi aksiologi. Seorang ilmuwan muslim yang shalih, meskipun pakar di bidang teknologi, tidak akan mau membuat -misal alat pemuas seks yang dijual bebas di negara-negara Barat. Alat tersebut dibuat oleh ilmuwan yang mengerti masalah sains dan teknologi, paling tidak prototype di awalnya. Produksi masal bisa saja dilakukan oleh buruh yang mungkin tidak sekolah. Aksiologi (untuk apa ilmu itu digunakan) berbeda masing-masing cara pandang (worldview) seseorang.
Maka, soal filsafat ilmu dan Islamisasi ilmu pengetahuan memang bukan konsumsi publik atau semua orang. Tapi orang-orang yang bergelut di bidang ilmu pengetahuan, terutama di tingkat perguruan tinggi, harus paham masalah ini. Dan dalam konteks pembangunan peradaban Islam, seorang muslim yang mempunyai worldview of Islam harus turut dalam melakukan proses Islamisasi Ilmu Pengetahuan, yaitu mengislamkan cara pandang sang ilmuwan, bukan ilmunya itu sendiri.
Mungkin beberapa kawan masih memperdebatkan masalah ini. Tapi sementara perdebatan berlangsung, di beberapa sekolah dan kampus Islam -termasuk Universitas Ibn Khaldun Bogor, proses Islamisasi Ilmu pengetahuan itu tengah berlangsung. Jadi, jangan buang-buang waktu Anda, ikutlah bersama kami proses ini.
~ Copas ~~
Isi Komentar :
|
|