Penggerak
Diposting oleh : AdministratorKategori: Nasional - Dibaca: 40 kali
[suluh.co.id] Jakarta, 11 Nopember 2023
Pengajaran yang Menggerakkan
Pada saat akan berangkat ke Jawa, banyak orang yang mengingatkan Malik, sebutan Buya Hamka muda, bahwa Jawa bukanlah tempat yang tepat untuk belajar Islam. Pengajaran Islam di Minang, jauh lebih baik. Namun nampaknya Malik tidak mengindahkan pesan-pesan itu, sebab selama ini ia lebih mencandu bacaan sastra dibanding buku-buku agama.
Sesampainya di Jogja ia tinggal di kampung Ngampilan, di rumah adik ayahnya, Ja'far Amrullah. Oleh sang paman, ia diminta untuk belajar tafsir ke rumah Ki bagus Hadikusumo. Sebenarnya ia enggan berangkat, kenapa juga harus belajar tafsir pada Ki Bagus Hadikusumo yang masih memakai Tafsir Baidhowi yang kuno, sementara di Padang ia telah belajar tafsir Al Manaarnya Muhammad Abduh.
Namun, sekali ia berangkat dan menyimak pengjaran tafsir Baidhowi oleh Ki Bagus Hadikusumo, yang masih menggunakan tafsir Arab Jawi itu, Malik langsung terkesima. Selama ini, ternyata ia baru belajar membaca tafsir, sehingga tidak boleh salah nahwunya. Sementara Ki Bagus Hadikusumo mengupas satu per satu ayat dengan bahasan yang luas, hingga memperteguh Malik untuk merapat ke Muhammadiyah dan Syarikat Islam.
Ruh pengajaran tafsir Ki Baus memang memantik kesadaran, apalagi residen Jogja saat itu berpihak pada zending Kristen, di mana wilayah Yogyakarta yang tadinya tertutup dari kegiatan misionaris akhirnya dibuka. Para misionaris, karena sudah mengantongi izin bebas untuk menjalankan penyebaran agama.
Setelah beberapa kali mengikuti pengajian Tafsir di rumah Ki Bagus Hadikusumo, Malikp mengikuti kursus Islam yang diadakan oleh Syarikat Islam Yogyakarta. Dalam kursus tersebut, Malik ia digembleng oleh tiga tokoh terkemuka umat Islam saat itu, yakni HOS Cokroaminoto, yang mengajarkan sosialisme., dimana materi ajat itulah nanti yang dibukukan dengan judul Sosialisme Islam.
Kemudian, ia juga diajar oleh R.M. Suryopranoto yang dikenal dengan julukan Raja Mogok, sebab ia sangat ditaati titahnya oleh para buruh. Dari beliau, Malik belajar Sosiologi. Sedangkan guru ketiga, yang mengajar tentang agama Islam, adalah H. Fakhruddin, pemimpin Muhammadiyah yang terkenal itu.
Dalam kursus itu, pak Tjokro memberikan perhatian khusus karena ketekunan Malik menyalin dan bertanya. Kesukaan Malik membaca buku walaupun roman dan surat kabar, punya andil besar hingga penjelasan pak Tjokro tentang teori Marx dan juga ulasannya yang luas tentang ajaran Islam, dapat ditangkap dengan baik.
Orangnya berkulit putih, kuning, agak pucat dan kurus. tulis Hamka mengenang sosok Tjokroaminoto. Kumisnya melentik ke atas, sikapnya agung, suaranya bulat lebih daripada Sukarno, lantang, berkuasa dan berwibawa. Ketika dalam surat kabar Api yang terbit di Semarang ada satu artikel yang mencaci makinya, beliau hanya tersenyum dan tetap tenang.
Ketenangan itu dibuktikan, pada saat pak Tjokro berpidato di Pekalongan. Ketika akan berpidato, tiga orang komunis tampil satu per satu memaki beliau dan menyebut agama sebagai candu rakyat. "Islam ialah Ezel-ham, keledai daging babi". Ejekan itu beliau sambut dengan tenang dan dipatahkan satu per satu argumennya, hingga seluruh peserta rapat akbar itu bertepuk tangan sebagai bentuk kekaguman pada Pak Tjokro.
Dan pengalamannya belajar Islam di Jogja mengubah pandangan Malik tentang ilmu-ilmu agama. Di mana pengajaran Islam itu bukan sekedari hafalan dengan aneka kaidah kebahasaan yang rumit. Tapi ia juga pengajaran yang menggerakan penuntuk ilmu untuk menyuarakan keadilan, melawan penjajahan dan keberanian untuk berfikir merdeka.
Belajar pada guru-guru pergerakan Islam di Jawa adalah fondasi penting dalam kehidupan selanjutnya, hingga ia akhirnya menjadi sosok HAMKA, yang ulama, jurnalis, sastrawan dan juga pelaku politik pergerakan nasional.
Dari buku Kenang-Kenangan Hidup, karya Hamka.
Arif Wibowo - FB

Isi Komentar :
|
|