Selasa, 20 Februari 2024 - 20:19:08 WIB

2024 Akan Mengulang 1998 ?

Diposting oleh : Administrator
Kategori: Nasional - Dibaca: 1208 kali

[suluh.co.id] Jakarta, 20 Pebruari 2024

 


2024: AKANKAH TAHUN 1998 TERULANG?
Oleh Agus Wahid

Rezim ini makin “menantang”. Terus berusaha memaksakan kehendak. Agar putera mahkotanya menjadi pemenang pemilihan presiden (pilpres), meski hanya berposisi sebagai wakil presiden. Itulah strategi politiknya untuk memperlanggeng dinastinya melalui kesertaannya dalam pilpres.  Maka, dua periode kekuasaannya yang hampir selesai, sejatinya – secara tak langsung – diperpanjang, tanpa landasan konstitusi. Berpotensi menambah dua periode lagi (sepupuh tahun). Ala maak… Dua periode yang telah memporakpandakan sistem ketatanegaraan, tapi harus diperpanjang lagi. Akan seperti apa kualitas kehancuran negeri ini. Semakin sempurna proses pemusnahannya.

Perlu kita catat, bangsa ini sudah demikian “manis”. Memberi toleransi atas kelakuan penguasa yang sudah melampaui batas. Bahkan, sampai jelang akhir kekuasaan pada periode kedua ini pun masih tergolong diberi toleransi. Namun, akhirnya toleransi itu meledak. Tidak hanya para aktivis yang berteriak, mengkritisi tajam. Tapi, kalangan civitas akademika dari berbagai kampus ternama, kalangan purnawirawan tentara dan kepolisian pun sudah geram dengan perilaku barbaristik sang penguasa.

Sebagian mereka yang geram masih juga tetap menahan diri. Karena, menanti perhelatan pilpres yang diharapkan jujur. Namun, kita fakta bicara. Jelang pilpres justru terjadi penggarongan uang rakyat (APBN) untuk kepentingan pribadi. Tak kurang dari angka sekitar Rp 1000 trilyun melayang untuk kepentingan pribadi, meski diwujudkan dalam bentuk makan siang dan minum susu gratis.  Lebih dari itu, dilakukan intimidasi dengan model “merangkul dan atau pukul”.

Model rangkul dilakukan dengan mengerahkan aparat ASN, sampai aparatur desa dengan menebarkan sembako atau uang “serangan fajar”, meski hanya Rp 200.000 per KK.  Bahkan, ada juga yang terima hanya Rp 30.000 (informasi dari salah satu keluarga di Gombong – Jawa Tengah). Sementara, informasi di Tegal, kepala desanya membagikan 10 kg beras per KK.

Politik charity itu relatif mendapatkan simpati. Untuk wilayah pedesaan, strategi itu memang berhasil. Namun, tidak untuk wlayah perkotaan yang sadar politik, atau terbuka menyaksikan panorama politik, setidaknya selama lima tahun terakhir. Namun, yang tetap bersuara lantang terhadap rezim, maka rangkulannya dengan tendang, kriminalisasi, jeruji dan bahkan mencabut nyawanya dengan paksa: secara unlawful killing.

Dan seusai pilpres, dikerahkan informasi kebohongan. Caranya, mengumbar informasi bohong. Yaitu, membangun opini sesat yang telah disiapkan jauh sebelumnya dengan cara membombardir data survey dengan sistem penghitungan cepat (quick count). Quick count (QC) ini terus digencarkan untuk mengelabuhi mekanisme penghitungan riil (real count). Sementara itu, dengan terstruktur, sistemik dan massif, rezim terus memaksa penyelenggara pemilu dengan menggelembungkan perolehan suara yang tidak rasional: tidak sesuai dengan jumlah pemilih per TPS-nya.

Modus lainnya juga dilakukan pencoblosan sebelum hari “H”, terutama untuk paslon 02. Dan sebagai upaya edukasi politik, ditayangkanlah film pendek (Dirty Vote) guna melihat jelas potret kecurangan 2019. Arahnya jelas: agar rakyat menyadari kecurangan pilpres dan harusnya tidak boleh terjadi lagi pada pilpres 2024 ini. Namun, ketiga aktor utamanya (Zainal Arifin Muchtar, Bivitri dan Very Amsari) harus menghadapi kriminalisasi.
Tidakkah cukup kelakuan rezim melampaui batas?

Jelaslah, sudah lebih dari cukup. Kini, tinggal menunggu satu babak lagi. Jika rezim tetap memaksakan kehendaknya agar paslon 02 harus menang satu putaran dengan penuh kecurangan, maka inilah momentum gerakan distrust nasional. Masyarakat perkotaan yang tergolong melek politik, kondisi mereka kini bagai rumput kering. Ada satu titik terbakar, maka akan segeralah api menyambar. Kobaran api pun akan terlihat di mana-mana. Pusat api tidak hanya di instalasi-instalasi strategis, tapi pusat-pusat perbelanjaan akan diserbu. Di sinilah, masyarakat pedesaan yang tidak melek politik pun akan tergerak untuk ambil kesempatan.

Kondisi politik yang terjadi pada 1998 sangat berpotensi meledak pada 2024 ini. Ledakan itu sunnatullah. Sudah mencapai titik jenuh. Karena, tak bisa lagi mentolelir diktatorisme rezim yang kian barbar. Jika rezim Orde Baru menjadi the common enemy karena begitu lamanya masa kekuasaan dan mengakibatkan KKN begitu mencengkeram, kini – meski hanya satu dasawarsa kekuasaan yang direngkuh – namun, KKN-nya jauh lebih menggurita. Kondisi kini jauh lebih parah. Karena, masuknya kalangan asing (aseng) yang terus menguasi sejumlah kawasan sumber daya alam di berbagai wilayah. Melalui kompradornya pun, aseng menguasai kekuasaan politik, hukum dan institusi pertahanan dan keamanan. Sesuatu yang belum pernah terjadi semasa Orde Baru.

Kondisi yang sudah melampaui batas itu, haruslah dihentikan. Melalui pilpres yang diharapkan akan hadir sosok pemimpin yang mampu menghentikan barbarisme rezim saat ini, ternyata tetap dilibas dengan model super curang. Maka, praktik kekuasaan ini memaksa berbagai elemen ambil satu opsi: pemakdzulan. Suara ini telah demikian bergemuruh, disuarakan para aktivis demokrasi dan kaum purnawirawan TNI-POLRI.
 
Ketika mencermati proses politik pemakdzulan secara konstitusi demikian berliku, maka gerakan ekstraparlementer menjadi alternatif. Apa boleh buat. Di sinilah akan terjadi benturan yang sangat kuat. Tekanan rakyat akan dihadapi dengan kekuatan represif. Sangat boleh jadi, akan dilakukan pengerahan seluruh alat kekuasaannya, apalagi Menhannya mantan TNI dan tergolong masing berpengaruh.

Sebuah renungan, apakah seluruh Angkatan akan sendiko dawuh atas perintah Panglima TNI yang memang tegak lurus dengan Istana? No. Setidaknya, Angkatan Laut (AL) akan tetap setia pada Sapta Marganya. Terpaksa, AL ini harus menghadapi mobokrasi para alat penguasa robot rezim itu. Peran AL akan menjadi perisai sekaligus faktor reduktif atas potensi kebergelimpangan anak bangsa.

Akhirnya, kita dapat menerawang, ambisi kekuasaan yang memaksakan kehendak melalui pilpres yang penuh kecurangan saat ini hanya akan mengantarkan keterulangan tragedi seperti 2019. Bukan hanya kondisi sosial-politik nasional yang membara, tapi juga akan terjadi penghentian kekuasaan secara paksa. Jika tak mau dilengserkan secara soft lending, maka opsinya tentu die hard. Opsi die hard bisa berujung ganda: tertangkap dan menjadi pesakitan sebagai penjahat politik dan pelanggar HAM berat, atau segera menyelamatkan diri dan keluarganya ke negeri pengasingan. Mirip Ferdinan Marcos (Filipina) pada 1984 atau Shah Iran yang akhirnya hidup sampai mati di negeri pengasingan sejak 1979 akhir para diktator lainnya dimuka bumi ini yang naas nasib akhirnya. Perlu direnungkan bagi rezim penguasa. Masihkah tetap ngotot?

Sejarah akan bicara. Jika ia sang negarawan, ia akan memilih soft lending. Dan bonekanya pun – sekali lagi, jika ia benar-benar mencintai rakyat – ia tak akan rela menyaksikan kebergelimpangan anak-bangsa yang berkorban demi masa depan negara yang tetap eksis. Ia lebih memilih opsi agar penyelenggara pemilu kembali ke prinsip jujur, adil dan transparan, meski harus kalah. Demi keselamatan seluruh elemen bangsa dan negara.

Bandung, 18 Februari 2024
Penulis: analis politik




Isi Komentar :
  • Hari ini 12 juni, tahun 1964 Nelson Mandela divonis penjara seumur hidup
  • Concorde melakukan penerbangan perdananya (24 Mei 1976) dari London ke Washington, D.C ...
  • Pembalap rockie Yamaha, Vinales, menyabet gelar pertamanya di seri MotoGP perdana 2017 di Qatar
  • Ferrari akhirnya memecah kebuntuan setelah pembalapnya Vettel menjuarai GP perdana di musim 2017
  • Hari ini (21/2), 41 tahun silam Presiden Soekarno Umumkan Reshuffle Kabinet Dwikora pada thn 1966

5459534

Pengunjung hari ini : 364
Total pengunjung : 1214816
Hits hari ini : 994
Total Hits : 5459534
Pengunjung Online : 8
Apa yang Anda harapkan di 2024 ?

Lihat Hasil Poling